Kubayangkan jika ada orang yang kelewat lugu plus ngamukan ketemu mushaf semacam ini. Kemungkinan dia akan menganggap mushaf ini ‘salah’. Kok tidak ada juznya? Kok nun-nya tidak bertitik? Kok qof-nya cuma 1 titik? Kok fa-nya titik bawah? Kok ada halaman awal di tengah mushaf? Kok nomor ayatnya beda? Ah salah cetak nih!
Saat bebersih rak buku di rumah mertua, ada yang menarik perhatianku. Sejilid mushaf dengan sampul bertuliskan aksara Arab yang ‘aneh’; Al-Quranul Karim bi Riwayatil Imam Warsy. Kenapa kusebut aneh? Sebab huruf qaf-nya hanya bertitik satu, dan nun-nya kopong tanpa titik.
Sebagaimana tercantum di sampul, mushaf ini memuat ayat-ayat Al-Quran dengan pembacaan riwayat Imam Warsy, salah satu dari tujuh riwayat pembacaan Al-Quran yang masih eksis hingga hari ini. Adapun bacaan yang dipakai di Nusantara ialah bacaan dengan riwayat Imam Hafsh. Tentang bagaimana perbedaan bacaan riwayat Imam Warsy dengan riwayat Imam Hafsh pada mushaf ini tak perlu kita bahas, toh aku bukan ahlinya. Kita cukup membicarakan fisik cetakannya yang unik saja.
Mungkin karena sejak kecil hingga dewasa terbiasa dengan mushaf yang pada umumnya beredar di Indonesia, maka mushaf satu ini terasa unik buatku. Dicetak oleh Maktabah as-Salam al-Jadidah, ditulis dengan rasm Utsmaniy, digayakan dengan khat ala wilayah Maghrib (Maroko, Aljazair, Tunisia), ditasheh oleh Majma’ al-Buhuts al-Azhar.
Kalau kita terbiasa dengan mushaf yang dibagi menjadi 30 juz (bagian), nah mushaf ini digolongkan menjadi 60 hizb (golongan). Jadi dalam mushaf ini kau tak usah mencari mana juz limanya, mana juz ‘ammanya. Sebab memang tidak ada pembagian semacam itu. Pembagian menjadi 60 hizb ini kalau dalam mushaf kita bisa diumpamakan dengan pembagian 30 juz.
Selain digolongkan menjadi 60 hizb, mushaf ini dipisah menjadi 4 rubu’ (perempat). Kugunakan istilah ‘dipisah’ karena memang betul-betul dipisah menjadi empat. Setiap rampung 1 rubu’ akan diakhiri dengan daftar surat yang ada dalam rubu’ tersebut, kemudian di lembar berikutnya dilanjutkan halaman baru bagi rubu’ selanjutnya.
Di akhir rubu’ 2 ada daftar surat yang dimuat dalam rubu’ 2, kemudian dilanjutkan halaman awal rubu’ 3. Di akhir rubu’ 3 ada daftar surat yang dimuat dalam rubu’ 3, lalu dilanjutkan halaman awal rubu’ 4. Nah, di akhir rubu’ 4 dicantumkan doa khatmil Quran, risalah singkat tentang adab membaca Al-Quran, dan daftar surat yang dimuat rubu’ 4.
Dalam setiap rubu’ ada 15 hizb. Rubu’ pertama dimulai dari surat Al-Fatihah hingga Al-An’am. Rubu’ kedua dari Al-A’raf hingga Al-Kahfi. Rubu’ ketiga dari surat Maryam hingga Fathir. Rubu’ keempat dari surat Yasin hingga An-Nas.
Hal lain yang unik adalah; doa khatmil Quran yang dicantumkan sama persis dengan doa khataman ala Mbah Munawwir Krapyak. Doa ini tidak begitu familiar di tengah masyarakat, juga sepengamatanku jarang tercantum di mushaf-mushaf lokal. Namun tentu saja doa ini masyhur di jaringan pesantren dan pengajian Quran yang bersanad ke Krapyak.
Di akhir doa dalam mushaf cetakan Maroko ini, ada panjatan penghadiahan pahala kepada kaum muslimin. Kemudian ditutup dengan lafal; “Al-Faatihah”, dan dicantumkan surat Fatihah. Bagiku ini terasa sangat Nahdliyyin, hehe.
Perbedaan pencetakan kitab suci Al-Quran ini memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa dalam hal-hal yang tidak esensial dalam agama, perbedaan itu niscaya dan harus diterima dengan arif. Tentu saja harus terjaga sesuai standar rasm Utsmaniy agar tidak sampai kehilangan maknanya, berupa berkurang atau bertambahnya lafal ayat.
Kau tidak harus mencetak mushafmu dengan 30 juz sebagaimana biasanya. Kau bisa menggolongkannya jadi 60 hizb, kau bisa membaginya jadi 4 bagian, seperti mushaf Maroko ini. Kau juga bisa membaginya menjadi tujuh bagian sesuai rumus Famy Bisyauqin sebagai wirid agar khatam seminggu sekali.
Kalau dalam urusan cetak mencetak mushaf Al-Quran saja kita bisa berbeda seperti itu. Apalagi dalam pelafalan langgam atau iramanya. Apalagi dalam hal pembacaan lafal-lafalnya yang di zaman modern ini terakomodasi dalam qiraat imam tujuh. Apalagi dalam pemaknaannya, tentu berbeda-beda sesuai dengan kapabilitas keilmuan dan kebersihan jiwa penafsirnya. Apalagi dalam pengamalannya, tentu musti disesuaikan dengan kondisi ruang dan waktu.
Kalibening, 26 Sya’ban 2018.
*Disadur dari Ustadz Zia Ul Haq.
Simak juga terkait Video Al Qur’an Berbeda Yang Dianggap Menyesatkan, Ini Penjelasannya.