Permasalahan perbedaan pandangan keagamaan selalu terjadi di kalangan masyarakat, namun terdapat kelompok yang tidak bisa menerima perbedaan tersebut dan cenderung menyalahkan amalan yang dilakukan oleh orang lain. Kelompok tersebut berasumsi bahwa umat islam itu memiliki potensi untuk bersatu, karena memiliki Tuhan yang satu (Allah SWT), kitab satu (al-Qur’an), Nabi satu (Nabi Muhammad saw), dll.
Selain itu, ada kolompok maupun firqoh yang tidak memahami agama secara holistik, namun memberikan fatwa keagamaan, serta dakwah terhadap masyarakat awam, kelompok tersebut memberikan pandangan yang perfeksionis dan menyampaikan gagasan keagamaan yang fashionable, sehingga terkesan apapun yang disampaikan oleh kelompok tersebut adalah suatu kebenaran, padahal kemampuan keagamaan mereka sangat dangkal. Ironisnya, pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tersebut diusung dengan jargon “ikhtilaf al-ummati rahmah” (perbedaan umat islam adalah rahmat). Benarkah setiap perbedaan yang ada merupakan rahmat sehingga dapat ditoleransi? Permasalahan ini membawa dampak sampai pada masyarakat awam. Masyarakat yang tidak mengerti pengetahuan agama menjadi kebingungan, Mana pendapat yang benar? Kelompok mana yang mesti diikuti? Karena setiap kelompok yang beragam tersebut mengusung dalil agama, sehingga samar-samar mana yang benar dan yang salah.
Keanekaragaman pandangan selalu muncul dalam kahidupan masyarakat. Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Secara konseptual, terminologi ikhtilaf (perbedaan) dapat dipecah menjadi 2: ikhtilaf al-qulub (perselisihan batin) dan ikhtilaf al-‘uqul wal-afkar (perbedaan dalam pemikiran dan paradigma). Adapun ikhtilaf al-qulub merupakan perbedaan yang tidak diperbolehkan karena telah memasuki wilayah hati, sehingga menimbulkan permusuhan.
Sedangkan ikhtilaf al-‘uqul wal-afkar dapat dibagi menjadi 2: ikhtilaf dalam masalah ushul dan furu’. Ikhtilaf dalam masalah ushul (dasar, pokok) tentu tidak diperbolehkan misalnya menyangkut akidah seseorang. sementara ikhtilaf dalam masalah rufu’ (cabang) merupakan perbedaan yang dapat diterima oleh syar’i, perbedaan ini biasa terjadi di kalangan para ulama. Pada prinsipnya, yang disebut dengan ikhtilaf dalam kajian fiqh al-ikhtilaf adalah perbedaan pandangan para ulama yang mu’tabar, kaenakaragaman pandangan di kalangan ulama sebagaimana ulama mazhab fiqh terhadap masalah furu’ dipengaruhi oleh berbagai hal seperti: dalil yang tidak menjelaskan secara spesifik, cara memahami/menafsirkan dalil, perbedaan dalil (mashdir al-ahkam, the source of islamic law) yang digunakan, serta latar belakang paradigma para ulama yang berbeda-beda.
Perbedaan pandangan agama yang seringkali kita dengar misalnya: ketika terdapat aktivitas seperti maulid, al-barjanji, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya, kemudian ada kelompok tertentu yang menanyakan Apakah amaliah ini ada dalilnya? Apakah ajaran ini pernah dilakukan oleh Nabi? Pertanyaan seperti ini sebetulnya muncul dari pemahaman agama yang dangkal. Hal ini pada akhirnya membuat masyarakat awam untuk mempertimbangkan ulang dan mencari dalil (dasar hukum) dari amaliah tertentu. Apabila ditelaah lebih dalam, suatu perbuatan dapat dikatakan ada dalilnya itu apakah harus ada nash secara eksplisit atau yang terpenting tidak ada dalil yang melarang. Yang juga penting untuk dipahami bahwa nash jumlahnya terbatas, tidak bisa semua hal diatur secara jelas di dalam nash.
Permasalahan lainnya adalah kelompok-kelompok tertentu kurang memahami terkait sumber-sumber hukum islam (mashadir al-ahkam, al-adillah asy-syar’iyah). Yang menjadi problematika adalah Apakah dalil agama itu hanya al-Qur’an dan hadist? tentu tidak, karena banyak sumber hukum lainnya yang bersifat ‘aqliyah (ghair al-manshus). sumber hukum islam tidak hanya al-Qur’an dan Hadist, melainkan ditambah dengan Ijma’ dan Qiyas, serta istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, sadd al-zariyyah, istishab, dll.
Selain itu, problematika selanjutnya adalah Apakah suatu perkara hanya karena tidak terdapat di dalam al-Qur’an secara eksplisit, lantas tidak boleh diamalkan? Atau karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi, lantas tidak boleh dilakukan oleh umat islam? jawabannya tentu tidak, hal ini didasarkan pada kaidah: “Tidak melakukan sesuatu bukan berarti bahwa sesuatu tersebut dilarang” At-tark (istilah dalam ilmu ushul fiqh) dalam kaidah diatas maksudnya adalah ketika Nabi tidak melakukan suatu perbuatan, bukan berarti perbuatan tersebut hukumnya haram (tahrim).
Ketika perbuatan itu tidak dilakukan oleh Nabi, hal tersebut mengandung beberapa kemungkinan. Misalnya Nabi lupa atau karena tidak terlintas dalam pikiran Nabi. atau karena Nabi khawatir memberatkan umat islam, serta kemungkinan-kemugkinan yang lain, Sehingga perbuatan tersebut tidak dilakukan oleh Nabi. dengan demikian, sesuatu yang haram tidak bisa dipahami dari at-tark saja, melainkan harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan keharamannya. Bahkan, di masa Nabi ada sahabat yang melakukan amalan yang tidak contohkan oleh Nabi. Misalnya, Nabi pernah membenarkan Bilal saat melakukan sholat dua raka’at (sholat ba’diyat al-wudhu’), padahal Nabi tidak pernah memerintahkan maupun mencontohkan sholat tersebut. Dengan demikian, suatu amaliah dari hasil ijtihad di masa Nabi saja diperbolehkan, apalagi setelah Nabi wafat tentu akan terbuka lebar pintu ijtihadnya.
Tidak hanya itu, persepsi bahwa ketika suatu hal sudah ada dalilnya di dalam nash, itu tidak selalu bisa menyelesaikan masalah. Dalam memahami al-Qur’an misalnya, ayat-ayat al-Qur’an memiliki banyak keanekaragaman. misalnya, kutipan “….wamsahu bi ru’usikum” (usaplah kepalamu saat berwudhu), timbul permasalahan Berapa kali dalam mengusap kepala? Apakah seluruh bagian kepala harus dibasuh? Atau cukup hanya membasuh sebagian dari kepala, dst. sebagian ulama mempertimbangkan huruf “ba’” dalam ayat tersebut, dalam mazhab syafi’i memaknai sebagian kepala sedangkan mazhab maliki memaknai harus seluruh kepala. Contoh lainnya, dalam al-Qur’an terdapat perintah (kewajiban) menjalankan sholat, namun tidak dijelaskan secara rinci. Tidak ada penjelasan di dalam nash terkait rukun-rukun yang harus dilakukan ketika sholat (arkan), hal-hal yang membatalkan sholat (mubtilat, nawaqid), dll.
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menghadapi berbagai pandangan agama, orang awam sebaiknya melakukan beberapa sikap sebagai berikut: Pertama, memahami berbagai macam perbedaan (ikhtilaf) sehingga mengetahui perbedaan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Kedua, memprioritaskan terhadap masalah ushul dari pada masalah furu’. Ketiga, bersikap tawasuth dan tawazun dalam memahami keanekaragaman pandangan para ulama. Keempat, mengikuti pandangan ulama yang dapat diakui kemampuan akademik keagamaannya, jangan sampai mengikuti pandangan-pandangan dari kelompok yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terakhir, mengedepankan dialog secara bijak.