Seorang Kyai dan Ulama, apalagi yang memegang amanat sebagai pengasuh sebuah Pondok Pesantren, pastinya sudah menjadi kewajiban bahwa diri beliau akan dihormati dan disegani oleh pasa santri dan muridnya. Hal ini wajar saja, sebab hubungan antara Guru dan Murid itu sangat kental dan memiliki hak dan kewajiban masing-masing (lebih jelas terkait hak kewajiban murid dan guru, bisa lihat di Kitab Ta’limul Muta’alim)
Namun, seorang Kyai juga memiliki keturunan yang juga harus dihormati dan dimuliakan oleh para santrinya. Ini sebagai sebuah penghormatan seorang murid terhadap gurunya juga. Dalam dunia kerja pun demikian, sudah sepantasnya karyawan menghormati anak dari bos nya. Sudah sepantasnya ajudan presiden melindungi anak dari majikannya.
Lebih kental lagi di dunia pendidikan, lebih dalam lagi di dunia pesantren. Seorang santri pun harus menghormati kyai dan keluarganya (biasa disebut warga ndalem), termasuk dari anak-cucunya yang biasa disebut dengan gelar “gus” untuk laki-laki, dan “ning” untuk perempuan. Hal ini menjadi sebuah dilema, yang mana anak kecil yang belum tau apa-apa, namun sudah dihormati seperti seorang raja mulai dirinya kecil, bahkan ketika baru lahir. Hal ini rawan terbentuk hal-hal yang tidak diinginkan.
Disadur dari sebuah kitab, bahwa fenomena ini harus ditanggapi dengan sangat hati-hati.
Tidak sedikit pula anak kyai / ulama yang “gagal” menjadi “penerus” ayah ibunya.
“Yang membuat banyak anak ulama gagal dan tidak bisa menjadi seperti ayah dan para pendahulu mereka adalah karena mereka terbiasa hidup manja, terbiasa dimuliakan orang-orang, sejak kecil mereka melihat murid-murid ayah mereka mencium tangannya, menggendongnya diatas pundak mereka dan menuruti semua kemauannya. Akibatnya para anak ulama itu menjadi sombong dan jumawa, sejak kecil mereka menyusu dari tingginya pangkat dan jabatan. Hal itu akhirnya terus menerus membuat hati mereka gelap gulita, tidak menerima nasehat dan arahan, bahkan mereka berprilaku lancang kepada orang-orang yang lebih tua, sampai kapanpun mereka akan hidup dibawah ketiak ayah mereka dan tak bisa mendapat kemuliaan dengan upaya mereka sendiri”
Sumber: Ig: @/ala_nu
Inilah salah satu alasan, mengapa para Kyai dan Ulama, sebesar dan sealim apapun Kyai itu, maka beliau-beliau lebih memilih menyekolahkan anaknya ke tempat (pondok) lain.
Agar anak tersebut bisa merasakan tirakat, sederhana, andap ashor. Dan ketika sudah selesai mengenyam pendidikan, ia kemudian siap pulang untuk melanjutkan perjuangan ayahnya di tempat tinggalnya / pesantrennya.
Versi Maqolah selengkapnya:
القول السابع : في اولاد الاكابر
قال سيدي علي الخواص رحمه الله تعالى :
ان ما كان العلب على اولاد الفقراء عدم بلوغ مراتب الرجال في الطريق لان احدهم يتربى على الدلال واكرام الناس لهم فيرى جميع اصحاب والده يقبلون يده ويحملونه على اكتافهم ويطيعونه في كل ما يطلب منهم اكراما لوالده فتكبر نفس احدهم ويرضع من ثدي الرياسة من صغره وتتوالى عليه تلك الاحوال المظلمة لقلبه حتى يصير لا تؤثر فيه المواعظ ولا يسمع من اكابر جماعة والده نصحا ويتجرأ بسوء الادب على الاكابر ويرى المشيخة كالميراث فيعيش في حضن والده لا يكسب فضيلة كما هو مشاهد . انتهى
Sumber: https://elmoheba.yoo7.com/t1882-topic
Selamat Datang di SantriNgaji.org..! Kamu juga dapat menuliskan artikelmu sendiri berupa opini, catatan ngaji, kajian islam, aqidah, fiqih, tafsir, dan kajian lainnya yang kamu dapatkan di pondok pesantren, pengajian umum, atau kitab dan buku yang kamu baca loo.. Jadikan catatanmu dapat bermanfaat bagi banyak orang. Karena, Ilmu bagaikan binatang liar, dan cara mengikatnya adalah dengan mencatatnya.
Daftarkan dirimu di: https://santringaji.org/register/
www.santringaji.org
Jika sudah punya akun, tuliskan catatanmu di: https://santringaji.org/tulis-catatan/