“Lahirnya Nasionalisme Dengan Pemahaman Tasawuf”
Oleh : Prie
Pancasila merupakan dasar negara dengan kelima silanya. Salah satu sila yang sangat menentukan kehidupan bernegara adalah sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat tersebut tentu mengandung makna hakiki yang sangat dalam dan berarti bagi kehidupan keseharian kita. Mendalami dan menghayati secara penuh intisari dari pernyataan sila pertama tersebut menentukan nasib bangsa ini kedepannya. Namun tanpa sadar seringkali kita mengabaikan dan bahkan acuh terhadap poin pertama Pancasila tersebut. Kita mengangap itu hanyalah kalimat biasa yang setelah dihafal oleh anak sekolah dasar, selesai sudah urusan kita. Kita tidak pernah berfikir dan merenungkan kandungan makna apa yang terdapat didalam sila pertama tersebut. Kelalaian kita akan hakikatnya pancasila tersebut berlangsung hampir di semua sektor kehidupan, baik itu masalah ekonomi, politik, budaya, bahkan sampai kehidupan beragama sekalipun kita terkadang mengabaikan prinsip dasar negara, terutama sila pertama dalam Pancasila tersebut. Juga dalam setiap level, mulai dari tingkatan kaum buruh dan pekerja, para tokoh ahli, pengusaha, sampai kepada tingkatan tertinggi yang merasa lebih berhak dan pantas dihormati yaitu para pejabat pemerintah, baik yang menempati ruang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, ditingkat pusat sampai daerah, kebanyakan dari mereka tidak memahami apalagi menerapkan secara total sila pertama dari Pancasila tersebut secara hakikat. Hasil akhir pasti sudah dapat kita tebak, timbullah berbagai ketimpangan dan ketidak seimbangan dalam kehidupan bernegara.
Namun disisi lain negara ini masih menerapkan asas demokrasi, sehingga semua orang berhak memberikan tafsirnya masing-masing terhadap sila pertama tersebut. Kebebasan berpendapat inilah yang kemudian menjadi sebuah problematika tersendiri dalam kehidupan bernegara terlebih lagi kehidupan beragama. Lahirlah ribuan pengertian dan pemahaman terhadap makna “ketuhanan” dan “esa”. Yang mengkhawatirkan, banyak pihak yang menyesuaikan makna ketuhanan tersebut sesuai tindakan dan kemauan dirinya sendiri. Ditambah lagi dalam tujuh butir sila pertama Pancasila berdasarkan Tap MPR nomor I/MPR/2003 juga tidak secara spesifik menjelaskan makna tentang “ketuhanan” dan “esa”. Sehingga semakin liar dan beragam pemaknaan hadir melengkapi kehidupan bernegara dan beragama kita.
Pemaknaan ketuhanan yang disesuaikan dengan kemauan diri inilah yang kemudian menimbulkan berbagai peristiwa kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Dari sini mungkin nalar kita kemudian mulai mengkritisi pernyataan tersebut, bagaimana bisa dari perspektif ketuhanan kemudian berimbas kepada berbagai peristiwa kelam yang dialami bangsa Indonesia?. Silahkan dibaca hingga akhir tanpa ada satu kalimat pun yang terlewatkan. Saya akan mencoba mengajak Anda untuk sedikit berfikir terbuka dengan sejenak meletakkan ego pribadi dan logika Anda yang terkadang menyesatkan. Dengan demikian Anda akan menemukan garis lurus bahwa prinsip dan pemahaman ketuhanan berimbas kepada segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan bernegara dan beragama bangsa Indonesia. Jika pemahaman kita akan ketuhanan sinkron dengan apa yang disampaikan Tuhan, maka hasilnya adalah kedamaian dan ketentraman. Namun jika kita mencoba menjadikan diri kita sebagai Tuhan, dengan memaksakan makna ketuhanan sesuai kehendak kita, tentu yang akan terjadi adalah ketimpangan dan kekacauan. Begitu pula berbagai peristiwa kelam bangsa ini juga berawal dari buruknya memahami dan memaknai Tuhan.
Kita awali dengan menganalisa beberapa kejadian pahit yang dialami bangsa Indonesia hingga kini. Pertama kita tentu masih ingat jelas kejadian berdarah di tahun 1948 dan 1965 yang dipelopori oleh gerakan separatis Partai Komunis Indonesia (PKI). Di tahun 1948, Perdana Menteri Amir Syarifuddin telah mengalami kegagalan dalam Perudingan Renvile yang akhirnya merugikan bangsa Indonesia. Atas dasar itulah, maka dibentuklah kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. Amir dengan beberapa kelompok sayap kiri akhirnya pada tanggal 28 Juni 1948 membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) dengan tujuan untuk merebut kembali kekuasaannya yang telah digulingkan. Dengan dibantu Musso yang tiba dari Moscow, 18 September 1948, disusunlah doktrin PKI yang diberi nama Jalan Baru. Seperti diketahui bersama, Musso dengan ideologinya komunisme hendak merebut kekuasaan yang sah dan mendirikan Pemerintah Soviet di Indonesia. Namun unsur militer kita mampu menghentikan pemberontakan yang digerakkan oleh PKI. Beberapa tokoh utama tewas, sedangkan yang lainnya berhasil meloloskan diri seperti D.N. Aidit.
Pemberontakan PKI 1965 merupakan kelanjutan dari aksi separatis 1948. D.N. Aidit yang berhasil lolos masih mengusung ideologi yang sama, merasa benar dan yakin dengan asas komunisnya. Puncaknya pada tanggal 30 September 1965, PKI melakukan penculikan terhadap enam jenderal senior TNI AD. Disamping itu, para tokoh agama juga menjadi sasaran kebrutalan PKI. Bagi mereka, agama merupakan candu dengan angan-angan belaka, sehingga agama menjadi perkara yang tabu untuk dibicarakan diantara mereka. Dari kejadian tersebut dapat ditarik satu kesimpulan bahwa asal muasal adanya tragedi PKI berawal dari kekecewaan Amir terkait digantikannya dirinya oleh Mohammad Hatta. Sebagai manusia yang beragama tentunya kita tahu bahwa segala sesuatunya merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Seandainya Amir pada waktu itu memahami dengan kerendahan hatinya sebagai hamba, dan menyadari sepenuhnya bahwa ada kuasa diatas segala kuasa, tentu tidak akan pernah terbentuk FDR. Termasuk bergabungnya dia dengan Musso yang akhirnya melakukan pemberontakan pula tidak akan terjadi. PKI sendiri pun sejatinya tidak menyadari dan memahami bahwa ada kehendak yang lebih berhak untuk dilaksanakan dari sekedar memaksakan kehendak pribadi. Prinsip bahwa usaha kita menentukan nasib kita dalam komunis sendiri sudah menyatakan tidak adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Peristiwa berdarah PKI sudah dapat kita analisa dari sudut pandang agama bahwa kepincangan akan pemahaman terhadap Tuhan akhirnya berimbas pada runtuhnya prinsip-prinsip kemanusiaan dalam menjalani kehidupan bernegara. Tindakan sepihak yang mementingkan ego semata, sekalipun tidak terucap dan tertulis, sudah menyatakan bahwa dia menyangkal adanya kebenaran Yang Maha Benar. Lalu masih relevankah sila Ketuhanan Yang Maha Esa?. Dimana Tuhan Yang Maha Esa jika kebenaran pribadi mutlak untuk dijihadkan yang dalam sudut pandang lain merupakan sebuah pemberontakan?.
Dari PKI kita beralih ke peristiwa DI/TII tahun 1949. Kegagalan Perundingan Renvile oleh Amir Syarifuddin membuat Indonesia harus rela menyerahkan Jawa Barat kepada Belanda yang tentu sangat merugikan Indonesia. Ternyata tidak semua pihak menaati hasil perjanjian tersebut. Salah satunya S.M. Kartosuwiryo yang sangat kecewa dengan keputusan pemerintah yang akhirnya memproklamirkan berdirinya negara berbasis Islam yang bernama Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI). Tentara dan pendukungnya disebut Tentara Islam Indonesia (TII). Sepintas dipandang bahwa aksi Kartosuwiryo tersebut merupakan jihad fii sabilillah. Asas demokrasinya Indonesia di bawah pimpinan Soekarno dirasa oleh mereka merupakan suatu kesalahan yang solusi satu-satunya dimata mereka adalah Khilafah Islamiyah atau berdirinya negara yang berasaskan pada Islam. Mungkin mereka berpendapat bahwa Islam yang rahmatan lil alamin mampu menjadi angin segar bagi negara Indonesia sehingga dalam setiap pengambilan keputusan tidak ada pihak yang dirugikan.
Ditengah suasana dan kondisi dimana negara harus berbagi wilayah dengan pihak asing, kemudian ditambah lagi permasalahan dari dalam negeri, apakah hal itu dapat dibenarkan?. Tidak ada pembahasan hablun minallahdan hablun minannas dari pemberontakan yang mereka lakukan. Dengan kata lain, kegiatan yang mereka gerilyakan tidak sedikitpun berkaitan dengan dasar-dasar ketaatan kepada Tuhan. Juga tidak ada sedikitpun nilai-nilai kemanusiaan didalamnya. Jihad di jalan Allah hanya terjadi diantaranya ketika ada perintah perang dari pemimpin dan seluruh wilayah negeri sudah dikepung oleh musuh. Perjanjian Renvile menggambarkan adanya diplomasi damai dari presiden Soekarno. Disamping itu Indonesia juga tidak sepenuhnya dikepung oleh Belanda. Maka perang yang dilakukan oleh DI bukan bagian dari jihad, namun lebih kepada pemberontakan.
Pemberontakan yang dilakukan Kartosuwiryo beserta kroni-kroninya terjadi lantaran ada ketidak puasan terhadap kepemimpinan Soekarno. Perasaan benar sendiri dan memaksakan kehendaknya untuk dapat dilaksanakan sudah menyimpang jauh dari norma agama, terlebih dipadang dari sudut pandang ketuhanan. Sekalipun atas dasar agama, namun tindakan mereka tidak sepenuhnya mencerminkan perilaku beragama. Mereka lupa bahwa dengan adanya tindakan brutal itu, mereka sudah mengabaikan Tuhan Yang Maha Benar. Disamping itu, dari aksi yang mereka lakukan, data mencatat setidaknya ada sebanyak 13.000 rakyat Aceh menjadi korban. Angka tersebut belum termasuk dari pihak militer dan organisasi masyarakat. Bisakah dikatakan bahwa tindakan mereka itu memenuhi prinsip hablun minannas?.
Banyak peristiwa berdarah yang turut menambah daftar panjang sejarah kelam bangsa Indonesia. Pemberontakan PRRI dan Permesta, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Peristiwa Malari tahun 1974, Tragedi Mei 1998, dan beberapa peristiwa lainnya penyebabnya tetap satu dan sama, kurangnya pemahaman akan makna “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan tidak sempurnanya pemahaman terhadap ketuhanan menjadikan diri secara otomatis bertindak sebagai Tuhan. Merasa paling benar, paling berhak untuk dihormati dan dihargai, dengan egonya sendiri semua orang harus mengikuti kehendaknya, merupakan bagian dari proses menuhankan diri sendiri. Ketika otoritas Tuhan kemudian diambil alih, maka akan terjadi ketidak seimbangan dalam kehidupan bernegara yang berwujud pada kerusuhan, pertengkaran, pelanggaran HAM, dan ketimpangan sosial lainnya.
Untuk itu maka perlu ada pelurusan secara hakikat siapa sejatinya Tuhan dan siapa sejatinya diri. Mengenal dengan baik diri sendiri dan Tuhan adalah langkah terbaik dalam menjalankan kehidupan sosial bernegara. Dengan mengenal diri sendiri, maka kita akan mampu menempatkan Tuhan pada posisi yang semestinya, serta memandang manusia lain pun pada posisi yang semestinya.
Pengenalan terhadap diri sendiri merupakan bagian dari ilmu tasawuf. Sementara itu, ketika kita mampu memandang manusia lain sebagaimana seharusnya, menghormati sebagaimana seharusnya, dan memperlakukan sebagaimana seharusnya, disitulah akar tumbuh kembangnya rasa nasionalisme. Maka dapat dikatakan bahwa tasawuf merupakan bibit dari adanya rasa nasionalisme atau kecintaan terhadap negara. Penerapan hidup hablun minannas yang baik, berdasarkan pada pandangan siapa aku dan siapa Aku, akan menciptakan keharmonisan dimanapun, termasuk dalam negara yang berbhineka ini. Kalau rasa peduli terhadap sesama dapat terjalin dengan baik, tentu persatuan dan kesatuan akan tumbuh secara otomatis memperkuat negara dari dalam maupun luar. Dengan persatuan dan kesatuan negara akan aman dari serangan apapun dan siapapun.
Sampai pada bagian ini akhirnya kita sepakat bahwa kehidupan bertasawuf menciptakan kedamaian dan ketentraman dalam negeri dengan tumbuhnya rasa kecintaan kepada negara secara otomatis. Tidak ada satu kisah sejarahpun yang menjelaskan para sufi terlibat dalam pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Para ulama’ dan kyai yang sudah mengunjungi ruang ma’rifat atau yang sudah mampu memandang wajah Tuhan Yang Maha Agung akan penuh dengan rasa kesederhanaan dan kepatuhan. Satu contoh saja saya sampaikan sebagai bukti, pemakzulan terhadap seorang presiden yang juga merupakan sosok kyai agung yang memahami penuh arti ketuhanan, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak diiringi dengan perlawanan yang sengit. Padahal kita tahu basis pasukan beliau begitu luar biasanya jumlahnya dan setianya. Kalau Gus Dur kala itu bertindak sebagaimana tokoh-tokoh antagonis dalam cerita sejarah kelam bangsa ini, tentu akan terjadi pemberontakan kesekian kalinya yang dialami bangsa ini. Namun dengan wajah kerendahan hati beliau, pertumpahan darah tidaklah terjadi. Inilah kehidupan pada sufi, menilai dunia dan segala macam isinya diawali dengan memahami diri sendiri dan Tuhannya terlebih dahulu.
Dengan hadirnya pemahaman bahwa tasawuf menjadi dasar dalam menumbuhkan rasa nasionalisme, maka pertanyaan selanjutnya tidak lagi membahas bagaimana menghadirkan rasa nasionalisme, namun beralih kepada bagaimana melaksanakan kehidupan bertasawuf. Menumbuhkan pemikiran ala sufi tentu tidaklah mudah. Harus ada gemblengan kepada nalar yang seringkali susah memahami hakikatnya Tuhan. Sebagai bahan renungan, ketika kita berjalan dan kemudian terjatuh, bagi yang tidak memahami dan mendalami tasawuf tentu akan marah dan berbicara kotor. Menyalahkan keadaan akan jatuhnya dirinya. Namun bagi mereka yang paham benar bahwa segala kejadian tidak lepas dari kehendak Tuhan, dan Tuhan pasti sudah memilihkan yang terbaik bagi hamba-Nya, dia akan mengatakan dengan senyum bahwa jatuhnya dia adalah anugerah dari Tuhan. Seandainya dia tidak jatuh saat itu, bisa saja hal yang lebih buruk terjadi. Mungkin tidak hanya luka ringan yang dialaminya, namun bisa sampai merengut nyawa sekalipun. Disinilah jika memandang segala permasalahan yang ada dari sudut pandang tasawuf, yang ada hanyalah ketentraman hati dan tidak menimbulkan kerugian bagi makhluk lainnya.
Namun tidak ada hal yang tidak mungkin jika kita mau berusahan. Para kyai dan ulama’ negeri ini sudah memikirkan matang dalam istikhoroh-nya terkait hal itu. Untuk mempermudah masyarakat mengenal Islam yang rahmatan lilalamin didasarkan pada pemahaman ketuhanan yang kenyejukkan, juga sebagai dasar menumbuhkan rasa nasionalisme dan kecintaan kepada negara, dibangunlah pesantren-pesantren sebagai pusat pendidikan karakter berkebangsaan. Dalam pesantren kita ajarkan bagaimana bersikap wara’ dan zuhud, hidup apa adanya dan pasrah terhadap kehendak Tuhan dengan syukur dan kesabaran yang tiada batas. Makan dan minum tidak dipandang dalam rasa, namun secara hakikat asalkan bisa kenyang mereka pun puas. Karena itulah tujuan kita makan dan minum. Berpakaian pun ala kadarnya, selama bisa menutupi aurat, mereka sudah sangat bersyukur. Kehidupan yang benar-benar mengikuti apa yang sudah ditetapkan oleh Tuhan kepada mereka ini merupakan praktek lapangan terkait teori tasawuf, yang tentu akan menumbuhkan jiwa kecintaan kepada sesama dan negara.
Mungkin pada awalnya para kyai tidak terlalu memikirkan permasalahan negara dan nasionalisme. Mereka hanya berbuat bagaimana bisanya masyarakat sekitar tempat dimana mereka berpijak dapat mengenal Islam dengan baik. Mereka hanya berfikir syiar dan dakwah. Namun hal itu tidak dapat dipisahkan dari rasa nasionalisme. Dakwah agama yang mereka sampaikan, terkandung dan tersirat didalamnya orasi-orasi tentang kecintaan terhadap negara. Dengan demikian pesantren menjadi pusat kebudayaan dan pendidikan yang tepat guna dalam menjaga dan memajukan bangsa dan negara Indonesia ini. Pesantren menjadi sarana para Kyai dalam menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
kebanyakan kita tahu bersama, mereka yan senantiasa menganggap tasawuf adalah sesat dan perkara bid’ah, pasti juga mengharamkan nasionalisme atau sebaliknya. kenapa bisa demikian?. Mari kita renungkan dengan seruput secangkir kopi pahit.
nb : barangkali dirasa ada yang perlu diluruskan, maka saya dengan senang hati menerima kritik dan saran demi kemajuan bersama.
Sidoarjo, 2 Oktober 2017
*Background gambar utama: Herman Damar – http://www.chapter3d.com/